Insiden Kelas
Oleh : Tifa Zulfa Yasmin
TEEENG.. TEEENG.. TEEENG..
Aku yang baru
beberapa langkah memasuki gerbang cukup terkejut dengan bunyi khas bel sekolah
kami. Karena memang posisiku saat itu cukup dekat dengan bel itu. Kenapa sih
harus pakai bel yang bunyinya nyaring begitu untuk pergantian pelajaran, atau
tanda masuk dan pulang? Kenapa tidak memakai lagu yang slow, atau klasik
sekalian?
Aku yang selalu
datang ‘tepat waktu’ masuk ke kelasku yang berada dekat dengan ruang guru dan
ruang wakil kepala sekolah. Ruang kelas lX-A. Aku menguap sekali sebelum
memasuki kelas. Karena merasa masih mengantuk, dan hawanya yang sejuk pagi hari
itu pun mendukung rasa kantukku.
Tapi begitu memasuki
kelas, rasa kantukku hilang karena keheranan dengan suasana kelasku saat itu.
Ada beberapa anak perempuan yang menangis. Bahkan teman sebangku sekaligus
sahabatku Rena menangis.Apakah aku ketinggalan sesuatu karena selalu datang
‘tepat waktu’ ini? Apakah mereka habis menonton drama yg bisa membuat
menangis-nangis? Atau mereka habis mengupas bawang? Tapi sepertinya bukan
keduanya, karena selain di kelasku tidak ada LCD dan di sekolahku tidak ada
pelajaran memasak.
Daripada aku
berpusing ria memikirkan mengapa mereka menangis, aku memutuskan untuk bertanya
kepada salah satu temanku Putri.
“Put, kok pada
nangis, emangnya kenapa tho?” tanyaku.
“Anu, tadi pagi
ada pengunguman untuk pertukaran murid dari kelas ke kelas, katanya alasannya
sih gara-gara satu kelas tidak boleh satu agama yang sama,” jawab Putri sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang aku rasa tidak gatal dan menunjuk ke kertas
putih yang tertempel di dinding depan kelas yang berisi nama-nama anak yang
akan melaksanakan pertukaran dan siapa yang menjadi penggantinya.
Memang kelas
kami seluruh anggotanya beragama islam, bahkan sampai wali kelas kami bergama
islam pula. Tapi aku memang masih belum menangkap kenapa secara mendadak
guru-guru memutuskan untuk mengadakan pertukaran murid antar kelas mendadak
ini.
Aku mendekati
Rena yang masih sibuk menangis. “Ren, ngapain sih nangis terus? Toh, kalau kamu
nangis juga gak akan ngerubah apapun,” kataku sambil berusaha menenangkan Rena.
“Terus aku
harus gimana? Dulu kelas Vll aku di pindah emang aku gak protes karna aku belum
kenal sama kalian! Tapi, sekarang malah di pindah lagi!! Padahal guru-guru udah
pada janji kalau kelas lX kita bakalan sekelas lagi!!” protes Rena emosi sambil
terus menangis.
“Daripada
nangis gitu terus mendingan kita tanya ke ruang waka sek aja, biar jelas kenapa
kok di pindah-pindah begini.” kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang sama
sekali tidak gatal.
Sepertinya Rena
menerima saranku dan mengikutiku dari belakang. Aku berhenti sebentar untuk
menggandeng tangannya, takut kalau dia sempoyongan lemes gara-gara habis nangis
terus pingsan kan gawat? Kami memasuki ruang wakil kepala sekolah yang jaraknya
tidak jauh dari kelas kami. Memang kelas kami ini sangat dekat dan yang paling
dekat dengan ruang guru dan ruang wakil kepala sekolah.
Saat memasuki
ruangan, sepertinya guru-guru masih sibuk mengurusi berkas-berkas dan
kertas-kertas. Aku mengetuk pintu sambil membawa Rena masuk. Rena masih
sesengukan nangis.
“Permisi pak,
saya mau menyakan beberapa hal,” kataku sopan sambil masuk perlahan ke ruangan
itu.
“Ada apa Ri?”
jawab ramah Pak Lukman salah satu guru bahasa inggris kami sambil
mempersilahkan kami masuk dan duduk setelah melihat Rena yang masih saja terus
menangis. Memang Pak Lukman adalah guru yang paling ramah dan paling akrab denganku
dan Rena.
Di ruangan ini
bukan hanya ada Pak Lukman, tetapi ada 2 guru yang lain. Yaitu, Pak Heri guru
matematika Rena saat kelas Vlll dan Bu Rosita guru matematikaku di kelas Vlll.
Aku duduk
berhadapan dengan Pak Lukman dan Rena duduk di sebelahku sambil terus
sesengukan menangis. Memang agak membaik, mungkin karena sekarang kami berada
di ruang wakil kepala sekolah kali ya?
“Begini pak,
saya mau bertanya kenapa tiba-tiba teman-teman sekelas saya di pindah?” tanyaku
sopan.
“Sebenarnya
satu kelas tidak boleh dengan satu agama yang sama, maka dari itu kami
menukarkan beberapa murid kelasmu,” jawab Pak Heri yang ada di belakang Pak
Lukman.
“Tapi kenapa
tidak dari pertama kami sebelum memasuki kelas lX? Jadi, anak-anak tidak akan
shock bahkan malah tidak akan peduli karena mereka tidak bisa menolak sistem
kelasnya,” tanyaku sekali lagi.
“Karna DIKPORA
baru saja memberitahukan informasi ini, dan mungkin di sebabkan karena teroris
baru-baru ini,” jawab Bu Rosita sambil membereskan file-filenya.
Memang baru-baru
ini ada teroris yang mengebom tempat-tempat di Indonesia sambil mengatas
namakan berjuang di jalan Islam. Yang benar saja, masa membunuh orang di bilang
berjuang di jalan islam?!
“Saya tetap
tidak mau pindah kelas apapun alasannya,” Rena ikut-ikutan nimbrung sambil
emosi yang sedikit di keluarkan dan masih terus saja menangis.
Sepertinya Bu
Rosita juga tidak mau kalah dengan Rena. “Kalian kan hanya di pindah kelas ,
bukan di pindah sekolah, menanggapinya kenapa berlebihan begitu? Bukannya
kalian masih bisa bertemu saat jam istirahat atau saat pulang?” kata Bu Rosita
agak emosi melihat Rena yang keras kepala.
Bu Rosita dan
Rena masih terus-menerus berdebat sambil mengeluarkan emosi. Aku, Pak Lukman
dan Pak Heri hanya saling pandang menandakan bahwa kami bingung harus melakukan
apa untuk menenangkan perdebatan yang menggunakan emosi antara Rena dan Bu
Rosita. Akhirnya kami memilih diam dan menyaksikan perdebatan itu walaupun
kadang-kadang Pak Heri ikut nimbrung dan membantu Bu Rosita.
Dan hal yang
buruk dan tambah memperburuk keadaan banyak murid-murid perempuan dari kelas
lain yang datang untuk melapor bahwa teman-teman mereka yang ikut di pindah
juga sedang menangis bahkan sampai ada yang pingsan. Guru-guru semakin pusing
dan mungkin itu juga menaikkan tensi emosi mereka.
Hal buruk satu
itupun masih belum cukup. Bahkan ada yang melaporkan ada 2 murid cowok yang
sedang bertengkar hebat. Dan itu membuat suasana semakin tidak menyenangkan
sedangkan di sebelahku Rena dan Bu Rosita masih saja terus berdebat dan sepertinya
Bu Rosita mulai hampir habis kesabarannya.
“Kamu itu masih
bisa bertemu dengan teman-temanmu!” kata Bu Rosita menaikan setengah lebih
tinggi nada suaranya.
“Tetap saja
berbeda bu! Pokoknya saya tidak mau pindah!” jawab Rena tidak mau kalah dia menaikkan
juga nada suaranya setengah lebih tinggi sambil masih menangis.
“Kalau begitu
kamu temukan saja teman kamu yang mau kamu ajak bertukar!” jawab Bu Rosita.
“Ya mana ada
yang mau bu! Kita semua sudah akrab, tidak mungkin ada yang menggantikan tempat
saya untuk pindah kelas!” kata Rena semakin emosi dan tangisannya sepertinya
semakin parah.
“Sudah dibilang
ini hanya pindah kelas, bukan pindah sekolah, kamu juga bisa bertemu
teman-temanmu saat jam istirahat! Memang apa bedanya? Atau jangan-jangan kamu
mengobrol di kelas?” tanya Bu Rosita sambil emosi.
“Saya tidak mau
pindah kelas! Pokoknya saya tidak mau! Saya akan melaporkan kepada mama saya
untuk protes!” kata Rena setengah berteriak lalu dia langsung menangis tambah
parah daripada sebelumnya.
Bu Rosita
membalikkan badannya dan memperlihatkan punggungnya ke kami tanda bahwa dia
tidak peduli lagi dengan Rena. Sepertinya dia sudah kewalahan menghadapi sikap
Rena yang keras kepala dan tidak mau kalah itu.
Rena menangisnya
pun semakin menjadi-jadi, banyak juga teman-teman dari kelas lain yang datang
ke ruangan ini untuk protes. Aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan,
apalagi Rena menangisnya semakin menjadi-jadi di sebelahku membuat guru-guru
semakin emosi dan cuaca sepertinya mendukung karna hawa semakin panas.
Akhirnya aku
menemukan sebuah ide. “Kalau begitu, bagaimana kalau saya saja yang
menggantikan Rena untuk pindah ke kelas lX-C pak?” kataku pada Pak Lukman.
Guru-guru yang ada di ruangan agak terkejut dengan omonganku. Bahkan Bu Rosita
membalikkan lagi badannya untuk meihatku dan memastikan bahwa dia tidak salah
dengar. Rena pun juga ikut terkejut dengan solusi yang aku berikan kepada
guru-guru yang ada di hadapan kami saat ini.
“Kalau begitu bisa
kan pak?” tanyaku ulang sambil melihat pak Lukman.
“Bisa saja,” jawab
Pak Lukman tersenyum.
“Gak mau! Riri!
Kamu itu apa-apaan? Aku gak mau pindah soalnya aku gak bakalan sekelas sama
kamu lagi! Kenapa kamu yang malah pindah?! Ya sama aja!!” Rena nimbrung lagi
sambil emosi dan melampiaskan kemarahannya kepadaku.
“Kalau gak gini,
masalahnya gak bakalan selesai Ren, kalo kamu bener-bener gak mau pindah aku
aja yang pindah gak papa kok,” kataku berusaha kalem.
“Gak mau! Udah
kubilang aku gak mau pindah gara-gara aku gak mau gak sekelas sama kamu!” ulang
Rena masih emosi.
Aku terdiam
sebentar memikirkan kata-kata Rena. “Kamu gak mau pindah gara-gara gak mau gak
sekelas sama aku?” tanyaku mengulang kata-kata Rena.
“Iya!!” jawab Rena
galak.
“Kalo gitu, kamu
tetep pindah aja..” kataku sengaja memotong kalimatku yang belum selesai.
“Ri!” kata Rena
terkejut dengan kalimatku yang belum selesai.
“Nanti aku juga
ikut pindah ngegantiin Tari yang juga sedang menangis di kelas karena tidak mau
di pindah,” lanjutku sambil melihat daftar murid kelas lX A dan lX C.
Rena terdiam
mendengar tuturanku. Guru-guru juga terdiam mendengar jawabanku. Akhirnya Rena
pun setuju dengan saranku dengan isyarat menganggukkan kepala. Kami pun pindah
ke kelas lX C.
***
Siang hari ini
matahari memamerkan cahayanya. Bendera merah putih berkibar dengan malas di
atas tiang. Koridor sekolah pun tampak sepi karena memang saat ini jam
pelajaran sedang berlangsung.
“Gimana Ren? Udah
bisa beradaptasikan sama kelas ini?!” bisikku pada Rena yang ada di sebelahku.
Memang ini sudah berlalu sebulan sejak insiden kelas itu.
“Iya sih, aku
sudah bisa agak beradaptasi.. tapi, tau gitu aku gak terlalu beradaptasi kalo
jadinya aku keasikan dan malah di hukum begini!” bisik Rena padaku.
Yah, saat ini
sebagian murid kelas lX C sedang melaksanakan hukuman karena tidak mengerjakan
tugas yang di berikan saat guru yang mengajar kosong. Dan hukuman ini memalukan
dan melelahkan. Sebagian murid lX C sedang “di jemur” di lapangan sambil hormat
dan menyanyi lagu Indonesia Raya. Dan matahari seperti sedang mengejek kami
karena dia memperpanas hawa di sekitar kami.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar