Cerpen (insiden kelas)

Kamis, 10 November 2011


Insiden Kelas
Oleh      : Tifa Zulfa Yasmin


TEEENG.. TEEENG.. TEEENG..
Aku yang baru beberapa langkah memasuki gerbang cukup terkejut dengan bunyi khas bel sekolah kami. Karena memang posisiku saat itu cukup dekat dengan bel itu. Kenapa sih harus pakai bel yang bunyinya nyaring begitu untuk pergantian pelajaran, atau tanda masuk dan pulang? Kenapa tidak memakai lagu yang slow, atau klasik sekalian?
Aku yang selalu datang ‘tepat waktu’ masuk ke kelasku yang berada dekat dengan ruang guru dan ruang wakil kepala sekolah. Ruang kelas lX-A. Aku menguap sekali sebelum memasuki kelas. Karena merasa masih mengantuk, dan hawanya yang sejuk pagi hari itu pun mendukung rasa kantukku.
Tapi begitu memasuki kelas, rasa kantukku hilang karena keheranan dengan suasana kelasku saat itu. Ada beberapa anak perempuan yang menangis. Bahkan teman sebangku sekaligus sahabatku Rena menangis.Apakah aku ketinggalan sesuatu karena selalu datang ‘tepat waktu’ ini? Apakah mereka habis menonton drama yg bisa membuat menangis-nangis? Atau mereka habis mengupas bawang? Tapi sepertinya bukan keduanya, karena selain di kelasku tidak ada LCD dan di sekolahku tidak ada pelajaran memasak.
Daripada aku berpusing ria memikirkan mengapa mereka menangis, aku memutuskan untuk bertanya kepada salah satu temanku Putri.
“Put, kok pada nangis, emangnya kenapa tho?” tanyaku.
“Anu, tadi pagi ada pengunguman untuk pertukaran murid dari kelas ke kelas, katanya alasannya sih gara-gara satu kelas tidak boleh satu agama yang sama,” jawab Putri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku rasa tidak gatal dan menunjuk ke kertas putih yang tertempel di dinding depan kelas yang berisi nama-nama anak yang akan melaksanakan pertukaran dan siapa yang menjadi penggantinya.
Memang kelas kami seluruh anggotanya beragama islam, bahkan sampai wali kelas kami bergama islam pula. Tapi aku memang masih belum menangkap kenapa secara mendadak guru-guru memutuskan untuk mengadakan pertukaran murid antar kelas mendadak ini.
Aku mendekati Rena yang masih sibuk menangis. “Ren, ngapain sih nangis terus? Toh, kalau kamu nangis juga gak akan ngerubah apapun,” kataku sambil berusaha menenangkan Rena.
“Terus aku harus gimana? Dulu kelas Vll aku di pindah emang aku gak protes karna aku belum kenal sama kalian! Tapi, sekarang malah di pindah lagi!! Padahal guru-guru udah pada janji kalau kelas lX kita bakalan sekelas lagi!!” protes Rena emosi sambil terus menangis.
“Daripada nangis gitu terus mendingan kita tanya ke ruang waka sek aja, biar jelas kenapa kok di pindah-pindah begini.” kataku sambil menggaruk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal.
Sepertinya Rena menerima saranku dan mengikutiku dari belakang. Aku berhenti sebentar untuk menggandeng tangannya, takut kalau dia sempoyongan lemes gara-gara habis nangis terus pingsan kan gawat? Kami memasuki ruang wakil kepala sekolah yang jaraknya tidak jauh dari kelas kami. Memang kelas kami ini sangat dekat dan yang paling dekat dengan ruang guru dan ruang wakil kepala sekolah.
Saat memasuki ruangan, sepertinya guru-guru masih sibuk mengurusi berkas-berkas dan kertas-kertas. Aku mengetuk pintu sambil membawa Rena masuk. Rena masih sesengukan nangis.
“Permisi pak, saya mau menyakan beberapa hal,” kataku sopan sambil masuk perlahan ke ruangan itu.
“Ada apa Ri?” jawab ramah Pak Lukman salah satu guru bahasa inggris kami sambil mempersilahkan kami masuk dan duduk setelah melihat Rena yang masih saja terus menangis. Memang Pak Lukman adalah guru yang paling ramah dan paling akrab denganku dan Rena.
Di ruangan ini bukan hanya ada Pak Lukman, tetapi ada 2 guru yang lain. Yaitu, Pak Heri guru matematika Rena saat kelas Vlll dan Bu Rosita guru matematikaku di kelas Vlll.
Aku duduk berhadapan dengan Pak Lukman dan Rena duduk di sebelahku sambil terus sesengukan menangis. Memang agak membaik, mungkin karena sekarang kami berada di ruang wakil kepala sekolah kali ya?
“Begini pak, saya mau bertanya kenapa tiba-tiba teman-teman sekelas saya di pindah?” tanyaku sopan.
“Sebenarnya satu kelas tidak boleh dengan satu agama yang sama, maka dari itu kami menukarkan beberapa murid kelasmu,” jawab Pak Heri yang ada di belakang Pak Lukman.
“Tapi kenapa tidak dari pertama kami sebelum memasuki kelas lX? Jadi, anak-anak tidak akan shock bahkan malah tidak akan peduli karena mereka tidak bisa menolak sistem kelasnya,” tanyaku sekali lagi.
“Karna DIKPORA baru saja memberitahukan informasi ini, dan mungkin di sebabkan karena teroris baru-baru ini,” jawab Bu Rosita sambil membereskan file-filenya.
Memang baru-baru ini ada teroris yang mengebom tempat-tempat di Indonesia sambil mengatas namakan berjuang di jalan Islam. Yang benar saja, masa membunuh orang di bilang berjuang di jalan islam?!
“Saya tetap tidak mau pindah kelas apapun alasannya,” Rena ikut-ikutan nimbrung sambil emosi yang sedikit di keluarkan dan masih terus saja menangis.
Sepertinya Bu Rosita juga tidak mau kalah dengan Rena. “Kalian kan hanya di pindah kelas , bukan di pindah sekolah, menanggapinya kenapa berlebihan begitu? Bukannya kalian masih bisa bertemu saat jam istirahat atau saat pulang?” kata Bu Rosita agak emosi melihat Rena yang keras kepala.
Bu Rosita dan Rena masih terus-menerus berdebat sambil mengeluarkan emosi. Aku, Pak Lukman dan Pak Heri hanya saling pandang menandakan bahwa kami bingung harus melakukan apa untuk menenangkan perdebatan yang menggunakan emosi antara Rena dan Bu Rosita. Akhirnya kami memilih diam dan menyaksikan perdebatan itu walaupun kadang-kadang Pak Heri ikut nimbrung dan membantu Bu Rosita.
Dan hal yang buruk dan tambah memperburuk keadaan banyak murid-murid perempuan dari kelas lain yang datang untuk melapor bahwa teman-teman mereka yang ikut di pindah juga sedang menangis bahkan sampai ada yang pingsan. Guru-guru semakin pusing dan mungkin itu juga menaikkan tensi emosi mereka.
Hal buruk satu itupun masih belum cukup. Bahkan ada yang melaporkan ada 2 murid cowok yang sedang bertengkar hebat. Dan itu membuat suasana semakin tidak menyenangkan sedangkan di sebelahku Rena dan Bu Rosita masih saja terus berdebat dan sepertinya Bu Rosita mulai hampir habis kesabarannya.
“Kamu itu masih bisa bertemu dengan teman-temanmu!” kata Bu Rosita menaikan setengah lebih tinggi nada suaranya.
“Tetap saja berbeda bu! Pokoknya saya tidak mau pindah!” jawab Rena tidak mau kalah dia menaikkan juga nada suaranya setengah lebih tinggi sambil masih menangis.
“Kalau begitu kamu temukan saja teman kamu yang mau kamu ajak bertukar!” jawab Bu Rosita.
“Ya mana ada yang mau bu! Kita semua sudah akrab, tidak mungkin ada yang menggantikan tempat saya untuk pindah kelas!” kata Rena semakin emosi dan tangisannya sepertinya semakin parah.
“Sudah dibilang ini hanya pindah kelas, bukan pindah sekolah, kamu juga bisa bertemu teman-temanmu saat jam istirahat! Memang apa bedanya? Atau jangan-jangan kamu mengobrol di kelas?” tanya Bu Rosita sambil emosi.
“Saya tidak mau pindah kelas! Pokoknya saya tidak mau! Saya akan melaporkan kepada mama saya untuk protes!” kata Rena setengah berteriak lalu dia langsung menangis tambah parah daripada sebelumnya.
                Bu Rosita membalikkan badannya dan memperlihatkan punggungnya ke kami tanda bahwa dia tidak peduli lagi dengan Rena. Sepertinya dia sudah kewalahan menghadapi sikap Rena yang keras kepala dan tidak mau kalah itu.
            Rena menangisnya pun semakin menjadi-jadi, banyak juga teman-teman dari kelas lain yang datang ke ruangan ini untuk protes. Aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan, apalagi Rena menangisnya semakin menjadi-jadi di sebelahku membuat guru-guru semakin emosi dan cuaca sepertinya mendukung karna hawa semakin panas.
            Akhirnya aku menemukan sebuah ide. “Kalau begitu, bagaimana kalau saya saja yang menggantikan Rena untuk pindah ke kelas lX-C pak?” kataku pada Pak Lukman. Guru-guru yang ada di ruangan agak terkejut dengan omonganku. Bahkan Bu Rosita membalikkan lagi badannya untuk meihatku dan memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Rena pun juga ikut terkejut dengan solusi yang aku berikan kepada guru-guru yang ada di hadapan kami saat ini.
            “Kalau begitu bisa kan pak?” tanyaku ulang sambil melihat pak Lukman.
            “Bisa saja,” jawab Pak Lukman tersenyum.
            “Gak mau! Riri! Kamu itu apa-apaan? Aku gak mau pindah soalnya aku gak bakalan sekelas sama kamu lagi! Kenapa kamu yang malah pindah?! Ya sama aja!!” Rena nimbrung lagi sambil emosi dan melampiaskan kemarahannya kepadaku.
            “Kalau gak gini, masalahnya gak bakalan selesai Ren, kalo kamu bener-bener gak mau pindah aku aja yang pindah gak papa kok,” kataku berusaha kalem.
            “Gak mau! Udah kubilang aku gak mau pindah gara-gara aku gak mau gak sekelas sama kamu!” ulang Rena masih emosi.
            Aku terdiam sebentar memikirkan kata-kata Rena. “Kamu gak mau pindah gara-gara gak mau gak sekelas sama aku?” tanyaku mengulang kata-kata Rena.
            “Iya!!” jawab Rena galak.
            “Kalo gitu, kamu tetep pindah aja..” kataku sengaja memotong kalimatku yang belum selesai.
            “Ri!” kata Rena terkejut dengan kalimatku yang belum selesai.
            “Nanti aku juga ikut pindah ngegantiin Tari yang juga sedang menangis di kelas karena tidak mau di pindah,” lanjutku sambil melihat daftar murid kelas lX A dan lX C.
            Rena terdiam mendengar tuturanku. Guru-guru juga terdiam mendengar jawabanku. Akhirnya Rena pun setuju dengan saranku dengan isyarat menganggukkan kepala. Kami pun pindah ke kelas lX C.

***
            Siang hari ini matahari memamerkan cahayanya. Bendera merah putih berkibar dengan malas di atas tiang. Koridor sekolah pun tampak sepi karena memang saat ini jam pelajaran sedang berlangsung.
            “Gimana Ren? Udah bisa beradaptasikan sama kelas ini?!” bisikku pada Rena yang ada di sebelahku. Memang ini sudah berlalu sebulan sejak insiden kelas itu.
            “Iya sih, aku sudah bisa agak beradaptasi.. tapi, tau gitu aku gak terlalu beradaptasi kalo jadinya aku keasikan dan malah di hukum begini!” bisik Rena padaku.
            Yah, saat ini sebagian murid kelas lX C sedang melaksanakan hukuman karena tidak mengerjakan tugas yang di berikan saat guru yang mengajar kosong. Dan hukuman ini memalukan dan melelahkan. Sebagian murid lX C sedang “di jemur” di lapangan sambil hormat dan menyanyi lagu Indonesia Raya. Dan matahari seperti sedang mengejek kami karena dia memperpanas hawa di sekitar kami.






TAMAT

0 komentar: